Pernah nggak kamu buka lemari lalu kepikiran, “Wah, baju ini kayaknya punya cerita ya?” Aku sering begitu. Mode klasik itu bukan sekadar potongan kain yang nempel di badan—itu adalah jejak-jejak kehidupan, warisan budaya yang tersimpan rapih di antara kancing dan jahitan. Kadang aku nangkep aroma kulit tua dari tas kulit opa yang aku simpan karena suka bentuknya yang matang (iya, aku romantis sampai segitunya), dan tiba-tiba satu rekaman memori otomatis muncul: hujan sore, jalanan kota basah, suara sepatu hak di trotoar yang bikin aku tersenyum sendiri.
Apa sebenarnya mode klasik itu?
Buatku, mode klasik itu seperti lagu lawas yang enak didengar berulang-ulang. Simpel, elegan, dan nggak kejar-kejaran tren musiman. Aku masih ingat pertama kali punya blazer navy—bukan karena hitting di Instagram, melainkan karena nenekku bilang, “Investasi di hal yang selalu sopan.” Waktu itu aku cuma manggut-manggut, sekarang aku lihat foto lamaku dan sadar, nenek benar. Ada rasa aman saat pakai pakaian yang punya garis jelas, bahan yang baik, dan potongan yang tak cepat usang. Mode klasik itu juga sopan dalam bahasa visual; dia nggak teriak, tapi selalu hadir saat dibutuhkan.
Mengapa warisan budaya penting dalam berpakaian?
Mode bukan hanya soal estetika. Di balik sebuah kain batik, misalnya, ada kisah daerah, simbol, dan upacara. Aku pernah ikut acara keluarga dan melihat bagaimana sarung tua yang dipakai oleh paman-paman membawa percakapan menjadi lebih hangat—mereka cerita tentang asal-usul motifnya, tentang tukang tenun yang sudah almarhum, sambil tangan mereka menunjuk motif yang sama di tepi meja. Itu nggak ternilai. Saat kita memilih mode klasik yang terinspirasi dari warisan budaya, kita memegang percikan sejarah itu. Aku sering klik-klik galeri online sambil membayangkan tangan pembuat kain yang menenun, dan kadang menyelipkan bookmark di kaysfancylegacy—bukan karena aku review produk, tapi karena rasanya seperti membaca surat cinta dari masa lalu.
Apakah berkelas berarti mahal?
Nah, ini bagian yang suka bikin orang salah paham. Aku sempat berpikir “berkelas = mahal” sampai dompet protes tiap kali masuk butik. Sekarang aku paham, berkelas lebih ke cara memilih dan merawat. Sebuah kemeja putih simpel dari pasar loak bisa terlihat lebih berkelas daripada blouse branded jika ia bersih, disetrika rapi, dan dipasang dengan percaya diri. Ingat episode waktu aku pakai blazer pemberian mantan (eh) ke acara reuni, dan beberapa teman menunjuk sambil bilang, “Kamu beda hari ini.” Aku mikir, mungkin itu karena cara aku berdiri—lebih rileks dan lebih menghargai apa yang aku pakai. Berkelas tuh soal sikap juga.
Bagaimana menjaga warisan ini hidup dalam keseharian?
Aku punya ritual kecil: setiap akhir bulan aku buka lemari, tarik satu benda yang jarang dipakai, lalu campur dengan pakaian modern. Hari itu jadi eksperimen mode. Kadang kombinasi itu aneh, kadang menghasilkan momen “wow” yang bikin aku selfie berlebihan. Merawat juga penting—belajar cuci sesuai label, menyetrika dengan benar, dan memperbaiki jahitan kecil sebelum jadi bencana. Kalau ada barang warisan keluarga, aku ajak cerita saat menyerahkannya ke anak cucu nanti: “Lihat, ini blazer yang pernah dipakai kakek saat bicara di balai desa.” Membagikan cerita itu membuat pakaian hidup kembali, bukan sekadar kain dengan tarif.
Aku percaya mode klasik dan warisan budaya itu seperti dua teman lama yang saling menguatkan. Mode memberi bahasa, warisan memberi isi. Bersama-sama mereka membentuk kisah hidup yang berkelas—bukan kaku, tapi hangat, penuh memori, dan mudah dikenali. Jadi, lain kali saat kamu membenahi lemari dan menemukan sesuatu yang sepertinya “jadul”, berhenti sebentar. Tarik napas, ingat satu cerita yang melekat pada barang itu, lalu pakai. Siapa tahu hari itu kamu akan jadi versi terbaik yang lebih berkelas, sambil ketawa lihat diri sendiri di cermin karena kombinasi bajunya aneh tapi seru.